BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kabupaten
Aceh Barat Daya merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten ini secara resmi berdiri setelah
disahkannya undang-undang Republik Indonesia Nomor 2002 tentang Pembentukan
Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan Raya, dan
Kabupaten Aceh Tamiang, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh Barat Daya
sering disingkat dengan Abdya. Kabupaten ini memiliki banyak sebutan akrab
diantara masyarakat sekitar diantaranya Tanoh Breuh Sigupai, Bumo Teungku
Peukan, Bumi Cerana, Alu Malem Dewa, dan beberapa sebutan lainnya. Kabupaten
Aceh Barat Daya terdiri dari 8 Kecamatan di antaranya adalah Babahrot,
Blangpidie, Jeumpa, Kuala Bate, Lembah Sabil, Manggeng, Setia, Susoh, dan
Tangan-tangan. Aceh Barat Daya mengandalkan sektor pertanian dan perdagangan
untuk kelngsungan ekonominya.
Akmal Ibrahim merupakan mantan Bupati Aceh Barat Daya
pada periode 2007-2012 bersama wakilnya Syamsurizal. Dia mencalonkan diri
sebagai bupati melalui sebuah partai yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Dia
adalah salah satu tokoh politik Aceh Barat Daya yang sangat dekat dengan masyarakat.
Keunggulan pada masa Akmal Ibrahim adalah pada sektor Pertanian dan Perkebunan.
Pada masa jabatannya hingga akhir jabatan dan sampai saat ini pun beliau sangat
dikenal sebagai pemimpin yang sangat membantu masyarakat kecil, apalagi
dikalangan petani.
Pada tahun 2011 Akmal Ibrahim menjalani proses hukum
yang menjerat namanya atas kasus diduga terlibat tindak pidana korupsi proyek pengadaan lahan untuk pembangunan
pabrik kelapa sawit (PKS) di Dusun Lhok Gayo, Desa Pantee Rakyat, Kecamatan Babahrot,
Abdya, senilai Rp 793.551.000 (http://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/proses-hukum-yang-menjerat-akmal-ibrahim/html. diaskses pada tanggal 3 Januari 2015).
Tanggal 18 November 2015 Akmal Ibrahim dinyatakan
tidak terbukti melakukan korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan Pabrik
kelapa Sawit di Dusun Lhok Gayo Kecamatan Babahrot Abdya. Kasus ini sama sekali
tidak mempengaruhi masyarakat Aceh Barat Daya terhadap Akmal Ibrahim. Dengan tidak
terbuktinya Akmal Ibrahim dalam kasus ini popularitas Akmal Ibrahim di Abdya
semakin merosot (https://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/akmal-ibrahim-divonis-bebas/html. diakses pada tanggal 4 Januari 2015).
Selain kasus
tersebut Akmal Ibrahim juga pernah tersindung dugaan kasus perzinaannya dengan
seorang perempuan dan foto-foto kemesraan Akmal Ibrahim tersebut pun tersebar
di dunia maya. Foto yang memperlihatkan Akmal Ibrahim bersama seorang wanita
berdaster tersebut di klarifikakasikan oleh Pakar Telematika Roy suryo. Dia
menyatakan bahwa wanita didalam foto tersebut bukanlah istrinya (http://www.harianaceh.co/read/2008/10/28/4957/pakar-telematika-roy-suryo-wanita-di-foto-akmal-buka-istri-bupati-abdya/html. diakses pada tanggal 31 desember 2015).
Pada masa kepemimpinan Akmal Ibrahim Aceh Barat Daya
memvonis bahwa lima tahun kepemimpinan Akmal Ibrahim dinyatakan gagal. Pasalnya
hal itu terungkap dalam sidang paripurna DPRK Aceh Barat Daya terhadap Laporan
Keterangan Pertanggung Jawaban-Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) Bupati Abdya
periode 2007-2012 pada Sabtu 7 April 2012 bertempat di gedung serbaguna DPRK
Abdya. Kegagalan-kegagalan pada masa Akmal Ibrahim didasari pada banyak temuan pelanggaran
aturan main yang mengikat, seperti aturan penganggaran yang dituangkan dalam
Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah,
serta tidak berpedoman pada visi dan misi wakil bupati terpilih, tentang
penempatan pejabat structural yang tidak mengacu kepada kopetensi dan
koordinasi dengan Baperjakat, akan tetapi kepada hubungan darah dan dan faktor
suka dan tidak suka atasan terhadap bawahan.
Demikian juga dengan dunia
pendidikan Aceh Barat Daya, yang dianggap gagal total dan hasil ujian nasional
mendapat rangking nomor-1 terakhir seluruh Indonesia. Walaupun dibidang
pertanian pada masa Akmal Ibrahim dinyatakan suskses tetapi bila dibandingkan
dengan anggaran yang dialokasikan yang berjumlah Rp 44 milyar dari tahun 2007, sangat
tidak sebanding dengan jumlah produksi yang dapat meningkatkan jumlah yang
telah disediakan. (http://www.harianaceh.co.id/2012/7/4/kepemimpinan-akmal-ibrahim-divonis-gagal. diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
Sehubungan dengan menjelengnya pelaksanaan Pemilukada
Aceh Barat Daya Tahun 2017 survei telah
dilakukan sebanyak dua kali, pada tahap pertama popularitas Akmal Ibrahim
mencapai 63%. Nilai yang diperoleh oleh Akmal Ibrahim ini menjadi nilai yang
paling tinggi diantara tokoh yang lainnya. Setelah lima bulan kemudian survei
kedua dilakukan kembali dan Akmal Ibrahim tetap menjadi tokoh yang paling
banyak diminati yaitu 67%. Keinginan masyarakat Aceh Barat Daya ini tidak
terlepas dari program pro rakyat yang sangat memenuhi kebutuhan masyarakat
secara umum, pengalaman memimpi periode sebelumnya terbukti lebih baik dari
pada periode sekarang dan lebih banyak membantu masyarakat kecil seperti
kalangan petani (Aceh Research And Consulting, 2016).
Berkenaan dengan hal tersebut terdapat kecenderungan masyarakat
mendukung Akmal Ibrahim terkait dengan program yang pro rakyat kepercayaan
masyarakat menurut hasil surve
1.2. Fokus Penelitian
Fokus penelitan pada
proposal ini antara lain:
1.
Faktor
kepercayaan masyarakat Aceh Barat Daya terhadap kepemimpinan Akmal Ibrahim
2.
Dampak kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim
dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya
1.3. Rumusan Masalah
1. Faktor apa saja yang menyebabkan kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Akmal Ibrahim di Kabupaten Aceh Barat Daya ?
2. Bagaimana dampak kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim
dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya ?
1.4
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui faktor penyebab kepercayaan masyarakat Aceh Barat
Daya terhadap kepemimpinan Akmal Ibrahim
2.
Untuk mengetahui bagaimana dampak
kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim dikalangan masyarakat Aceh
Barat Daya
1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1.
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan kajian
teori-teori sosial terutama di bidang ilmu politik.
2.
Secara
akademis dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menjadi referensi bagi
mahasiswa tentang kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.
b. Manfaat Praktis
·
Penelitian
ini dihaparkan dapat menjadi referensi yang berguna bagi pihak yang terkait
dalam penelitian ini, terutama dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pendukung dalam penelitian ini akan
dcantumkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti terkait
perilaku pemilih dalam sebuah pemilihan sebagai berikut:
Sebagai
bahan pertimbangan peneliti mencantumkan beberapa hasil dari penelitian oleh
beberapa peneliti sebelumnya diantaranya yaitu Penelian oleh Asy’ri (2011) yang meneliti tentang “Perilaku
Pemilih Pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
Tahun 2014 (Suatu Penelitian di Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku dan faktor-faktor apa saja
yang mendorong pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum presiden
dan wakil presiden republik
indonesia tahun 2014 di kecamatan ingin jaya Aceh Besar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perilaku pemilih di kecamatan ingin jaya dapat dikelompokkan
ke dalam lima kelompok yaitu: kelompok pemilih rasional, pemilih kritis,
pemilih tradisional, skeptis, dan kelompok pemilih emosional.
Penelitian lain dilakukan oleh Martunis (2011) yang
meneliti tentang “Peran Partai Golkar dan Partai Aceh Dalam Mengurangi Angka
Golongan Putih (Golput) pada Pemilu Presiden Tahun 2014 di Aceh Utara. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran partai golkar dan partai aceh
dalam mengurangi angka golput pada pemilu presiden 2014 di aceh utara dan untuk
menjelaskan kendala yang di hadapi partai golkar dan partai aceh dalam
mengurangi angka golput pada pemilu presiden 2014 di aceh utara. Hasil
penelitian ini menunjukkan partai politik kurang berperan dalam mensosialisasikan
pemilu presiden kepada masyarakat sehingga angka golput tetap tinggi di Aceh
Utara.
Penelitian yang dilakukan Said Herry Rizan (2012) yang
meneliti tentang “Sikap Dan Perilaku Pemilih Dalam Pemilukada Aceh 2012 (Suatu
Kajian Di Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh)”. Tujuan penelitian ini adalah
mengkaji sikap dan perilaku pemilih di Banda Aceh tepatnya pada warga di
Kecamatan Ulee Kareng, sikap dan perilaku bagaimana yang akan mendominasi Kecamatan
Ulee Kareng, dan sejauh mana pemahaman warga tentang pentingnya berpartisipasi
dalam pemilu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pilkada secara
langsung di Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, merupakan tipe masyarakat yang
berpartisipasif dan tidak terpengaruh isu suku, agama, ras, dan money politic dan tehadap hubungan yang
cukup kuat antara orientasi policy-problem
solving dengan pendekatan psikologi.
2.2. Landasan Teori
Tinjauan teoritis di sebagian literatur penulisan
karya ilmiah disebut juga landasan teoritis, kerangka pemikiran atau kerangka
konseptual. Dengan berdasarkan teori yang penulis gunakan maka akan menciptakan
atau memecahkan masalah yang penulis kaji dan akan terlihat kerangka pemikiran.
Untuk mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan
teori Persepsi Masyarakat dan teori Kepemimpinan.
2.2.1.Teori
Perilaku Pemilih
Teori-teori perilaku pemilh
yang dikemukakan oleh Sotepu P. Anthonius (2012: 183-184), ada 3 teori dalam
melihat perilaku pemilih pada sebuah pemilihan diantaranya sebagai berikut:
a. Party Indentification Model
Teori ini menjelaskan
tentang kondisi piskologi seorang pemilih yang menentukan pemilihannya
berdasarkan dengan keadaan sosial yang dirasakannya sama dengan partai yang
berhaluan dengan kondisinya, seperti kondisi seorang buruh yang serba tertekan
dengan penghasilannya yang selalu menjadi masalah hidupnya, maka dia lebih
memilih partai yang memiliki pandangan terhadap kehidupannya, seperti partai
buruh. Penjelasan di atas, Anthonius menyebutkan dengan istilah “senses of psycological” yang secara psikologius terkait dengan
partai politik dan juga disebut indentifikasi kelas sosial (social class indentification).
b. Sosiological
Model.
Teori ini menamparkan bahwa
dalam melihat perubahan perilaku pemilih dapat diketahui dari sudut sosial
pemilih itu sendiri. Kondisi sosial yang dimiliki pemilih seperti tingkatan
umum, pekerjaan, tingkat pendidikan atau kondisi dimana kelompok yang dia ikuti
membawanya sesuai kondisi kelompok tersebut. Maka hal tersebutlah dapat
memberikan pengaruh terhadap pola pilihan pemilih.
c. Rational-Choice
Model.
Pilihan rasioanl ini
menjelaskan perilaku pemilih dari sisi keberhasilanhan yang nyata dari program
yang ditawarkan oleh partai politik maupun kandidat pemilu. Keberadaan teori
dalam memberikan sebuah kejelasan terhadap kebergasilan sebuah negara dalam
menciptakan masyarakat yang kritis terhadap persoalan negara.
Secara umum
teori diatas mejelaskan bahwa perilaku pemilih pada dasarnya dapat dilihat dari
psikologis seorang pemilih dengan partai yang menjadi pejuang bagi pemilih untuk
mendapatkan kepentingannya. Sosiologis model melihat pemilih dari startifikasi
sosial, dimana perilaku seorang dalam memilih masing-masing dibedakan oleh
faktor-faktor usia, pekerjaan dan pendapatan ekonominya. Sedangkan pilihan
rasional lebih menekankan bagaimana pilihan seorang dai sebuah keuntungan dan
rugi didalam memilih objek tertentu.
Firmanzah menjelaskan,
secara garis besar pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan
utama para calon legislatif atau eksekutif untuk merka pengaruhi dan yakinkan
agar mendukung yang kemudian memilih calon politik yang bersangkutan (Efriza:
2012: 480). Sementara, perilaku pemilih menurut surbakti adalah aktivitas
pemberian suara oleh individu yang berkaitan berat dengan kegiatan pengambilan
keputusan untuk memilih dan tidak memilih di dalam suara pemilu maka pemilih
akan memilih atau mendukung kandidat tertentu (Ramlan: 1992 : 146).
1. Pemilih Rasional
Pemilih dalam hal ini lebih
mengutamakan kemampuan parpol atau calon kontestan dalam program kerjanya
kedepan dan kinerja partai masa lampau. Ramlan surbakti menambahkan, pada tahap
ini pemilih melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi,
yang dipertimbangkan bukan hanya ongkos memilih tetapi juga perbedaab dari
alternatif berupa pilihan yang ada (Ramlan: 146).
Ciri khas
pemilih ini adalah tidak begitu mementingkan ideologi kepada satu parpol atau
calon kandidat, pemilih cenderung ,elepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis,
tradisonal, dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Hal yang sangat
penting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa dan yang telah dilakukan
oleh partai politik atau calon kontestan dari pemahaman nilai partai atau
kontestan.
2. pemilih ktitis
Pemilih jenis ini merupakan
perpaduan antara tingginya orientasi pada orientasi pada kemampuan parpol atau
calon politik dalam mrnuntuskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi
mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Ikatan ideologis yang dibangun
oleh pemilih membuat loyalitas terhadap partai ataupun calon kandidat itu
tinggi sehingga susah untuk berpaling dari parpol atau calon kandidat semula.
Parpol atau calon kandidat yang ingin mempengaruhi kelompok pemilih jenis ini,
mereka harus mengatur sebaik mungkin supaya masukan dan kritikan dari pemilih
ini bisa ditampung untuk memperbaiki kinerja partai dan meningkatkan kualitas
kebijakan partai.
3. Pemilih Tradisonal
Pemilih jenis ini memiliki
orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan
parpol atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan
keputusan. Pemilih sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai,
asal-usul dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah parpol. Pemilih dalam
hal ini tidak terlalu memusingkan kebijakan apa yang telah dilakukan dan
kebijakan apa yang akan dilakukan oleh parpol ataupun kontestan. Pemilih jenis
ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis
tokoh atau partai.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih adalah pemilih yang
tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah parpol atau
seorang kontestan, serta tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang
penting. Keinginan untuk terlibat dalam politik sangat rendah, sehingga golput
sangt didominasi oleh kelompok pemilih ini. Seandainya kelompok ini
berpartisipasi dalam pengumutan suara, baisannya mereka melakukan acak/random.
Kelompok pemilih ini berkeyakinan bahwa siapapun dan partai politik apapun yang
memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih
baik, selain itu mereka tidak mempunyai ikatan emosional dengan sebuah parpol
atau dengan salah seorang calon.
2.2.2.
Trust
Trust merupakan
pondasi dari bisnis. Sutau pondasi bisnis antara dua pihak atau lebih akan
terjadi apabila masing-masing saling mempercayai. Kepercayaan (trust) ini tidak begitu saja dapat
diakaui oleh pihak lain/mitra bisnis, Melainkan harus dibangun mulai dari awal
dan dapat dibuktikan. Trust telah
dipertimbangkan sebagai katalis dalam berbagai transaksi antara penjual dan
pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa literature telah
mendefinisikan trust dengan berbagai
pendekatan. Pada awalnya trust banyak dikaji disiplin psikologi, karena hal ini
berkaitan dengan sikap seseorang. Pada perkembangannya, trust menjadi kajian beberapa disiplin ilmu, termasuk menjadi
kajian dalam e-commerce. Menurut
Yousafzai et al setidaknya mendapat
enam definisi yang relavan dengan aplikasi e-commerce.
Hasil identifikasi dari berbagai literature tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a.
Rotter
(1967) mendefinisikan trust adalah keyakinan bahwa kata atau janji seseorang
dapat dipercaya dan seseorang dapat memenuhi kewajiban dalam sebuah hubungan
pertukaran.
b.
Morgan
dan Hunt (1995) mendefinisikan bahwa trust akan terjadi apabila seseorang
memiliki kepercayaan diri dalam sebuah pertukaran dengan mitra yang dimiliki
integritas dan dapat dipercaya.
c.
Mayer
et al. (1995) mendefinisikan trust
adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan
pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang
mempercayainya, tanpa tergantung pada kemauannya untuk mengawasi dan
mengendalikannya.
d.
Rousseau
et al. (1998) mendefinisikan trust
adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan
harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain.
e.
Gefen
(2000) mendefinisikan trust adalah kemauan untuk membuat dirinya peka pada
tindakan yang diambil oleh orang yang dipercayainya berdasarkan pada rasa
kepercayaan dan tanggung jawab.
f.
Ba
dan Pavlou (2002) mendefinisikan trust adalah penilaian hubungan seseorang
dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang
kepercayaannya dalam suatu lingkungan yang oenuh ketidak-pastian.
Berdasarkan definisi diatas,
maka dapat dinyatakan bahwa trust
adalah kepercayaan pihak tertentu terhadap yang lain dalam melakukan hubungan
transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa orang yang dipercayainya tersebut
akan memenuhi segala kewajibannya secara baik sesuai yang diharapkan (Ainur
Rofiq: 2007 : 30).
2.2.3.
Elektabilitas
Elektabilitas
berasal dari kata electability (bahasa inggris), di turunkan dari kata elect
(memilih). Bentuk-bentuk turunan dari kata elect antara lain election, electable, elected, electiveness,
electability, dan sebagainya. Elektabilitas dalam pemaknaan politik adalah
tingkat keterpilihan suatu partai, atau kandidat yang terkait dengan proses
pemilihan umum. Istilah popularitas dan elektabilitas dalam masyarakat sering
disamaartikan, padahal keduanya mempunyai makna dan konotasi yang berbeda
meskipun keduanya mempunyai kedekatan dan kolerasi yang besar. Popularitas
lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya dengan seseorang, baik dalam arti
positif ataupun negatif. Sementara elektabilitas berarti kesediaan orang
memilihnya untuk jabatan tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan
jenis jabatan yang ingin diraih.
Menurut Robert Tanembaun, pemimpin politik
adalah mereka yang menggunakan wewenang-wewenang formal untuk
mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan atau rakyat yang
bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai
tujuan politik yakni kesejahteraan rakyat. Syarat umum itu, dalam teori politik
modern, dirumuskan dalam tiga hal, yakni :
1.
Akseptabilitas
2.
Kapabilitas,
dan
3.
Integritas.
Akseptabilitas
mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki
orang tersebut menjadi pemimpin. Seseorang baru dianggap sah sebagai pemimpin
jika ada yang menginginkan dan memilihnya menjadi pemimpin. Aspek ini, dalam
teori politik disebut sebagai legitimasi, yakni kelayakan seorang pemimpin
untuk diakui dan diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya melalui proses
pemilihan yang berlangsung secara jujur dan adil. Hanya orang yang dipilih
melalui proses pemilihan itulah yang dianggap memiliki legitimasi sebagai
pemimpin. Syarat ini memang khas kepemimpinan politik. Tidak semua pemimpin
harus dipilih, namun dipastikan kepemimpinan diluar politik juga akan memiliki
legitimasi yang sangat kuat jika melalui proses pemilihan, bukan sekedar
ditunjuk oleh orang tertentu.
Kapabilitas, jika akseptabilitas
menyangkut keabsahan seseorang sebagai pemimpin, maka kapabilitas menyangkut
kemampuan untuk menjalankan kepemimpinan. Untuk menjadi pemimpin tidak hanya
cukupkarena ada yang menghendaki menjadi pemimpin dan kemudian melilihnya
sebagai pemimpin, tetapi harus dilengkapi dengan kemampuan yang memadai untuk
mengelola berbagai sumber daya dari orang-orang yang dipimpinnya agar tidak
sampai terjadi konflik satu sama lain. Kalaupun nantinya ada konflik, maka
pemimpin itu harus bisa menunjukkan bahwa dia bisa mengelola konflik itu bukan
hanya agar konflik itu mereda dan tidak meluas menjadi konflik fisik apalagi
sampai berdarah-darah, tetapi juga agar dari pengelolaan konflik itu lahir
sebuah consensus yang disepakati bersama.
Integritas,
tidak kalah pentingnya. Akseptabilitas dan kapabilitas hanya mungkin
menghasilkan produk yang dirasakan orang-orangyang dipimpinnya jika dilengkapi
oleh integritas. Kemampuan memimpin dan keabsahan menjalankan kepemimpinan
tidak cukup berarti jika pemimpin itu tidak memiliki integritas. Secara
sederhana, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan
main yang telah disepakati bersama sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan
pelanggaran baik terhadap aturan main maupun terhadap norma-norma tak tertulis
yang berlaku dimasyarakat. Jika akseptabilitas menyangkut legitimasi dan
kapabilitas behubungan dengan kompetensi, maka integritas menyangkut konsisten
dalam dalam memegang teguh aturan main dan norma-norma yang berlaku
dimasyarakat.
Tanpa
akseptabilitas, seorang pemimpin akan sangat mudah dipertanyakan keabsahannya
karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas,
seorang pemimpin tidak akan mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan
baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi. Namun akseptabilitas dan
kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas.
Tanpa integritas, seorang pemimpin akan mudah terjerumus dalam sikap sewenang-wenang
dan cenderung mengabaikan aturan main dan norma-norma yang berlaku
dimasyarakat. Dengan sednirinya berbagai bentuk penyelewengan moralakan mudah
terjadi.
Pemilukada
memiliki dua makna, sebagai keberhasilan dan kegagalan demokrasi. Pemilukada
dikatakan berhasil karena sudah menunjukkan adanya partisipasi rakyat, proses
pencalonan yang diseleksi, kampanye, dan kontrak politik. Dalam hal ini,
prosedur sebagai demokrasi suah dipenuhi dan dipraktekkan, terlepas dari hasil
yang dicapai. Sedanglan pemilukada disebut gagal karena masih menunjukkan
praktek uang, besarnya angka golput, ketidaktahuan pemilih dengan hak-hak
politiknya sebagai warga negara yang memiliki otonomi, pola rekruitmen calon,
dan lainnya (Wacana: 2005 : 86).
Beberapa catatan
penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi
ditingkat lokal dalam pemilukada langsung, yakni sebagai berikut:
1.
Melalui
pemilukada langsung, penguatan demokrasi ditingkat lokal dapat terwujud,
khususnya yang berkaitan dengan legitimasi politik. Karena asumsinya kepala
daerah terpilih memilki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung
oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan
politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa
kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagian besar
warga.
2.
Pemilukada
langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas (pemerintah)
lokal (accountability). Ketika
seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka pemimpin rakyat yang
mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas akuntabilitasnya. Hal ini
sangat mungkin dilakukan karena obligasi moral dan penanaman modal politik
menjadi kegiatan yang harus dilaksankan sebagai wujud pembangunan legitimasi
politik.
3.
Apabila
local accountability berhasil
diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks
and balences antara lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan
legislatif) dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses
demokrasi dilevel lokal.
4.
Melalui
pemilukada langsung, peningkatan kualitas kesadaran politik masyarakat sebagai
kebertampakan kualitas partisipasi rakyat dijarapkan muncul. Masyarakat saat
ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya, kearifannya, kecerdasannya, dan
kepeduliannya untuk menentukan diri siapa yang kemudian dianggap pantas dan
atau layak untuk menjadi pemimpin mereka ditingkat provinsi, kabupaten, maupun
kota (Leo Agustino, 2009: 9-11).
Kalau mencermati
prosedur maupun proses pemilihan dalam pemilukada secara langsung, pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berkemungkinan memenangkan
pemilukada secara langsung manakala memilki tiga modal utama. Ketiga modal itu
adalah modal politik (political capital),
modal sosial (social capital), dan
modal ekonomi (economical capital).
1.
Modal
politik berti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari
kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi dari rakyat.
Modal ini menjadi sentral bagi semua calon, baik dalam tahap pencalonan maupun
dalam tahap pemilihan. Biasanya setiap calon pasangan kepala daerah, baik yang
diusung oleh partai politik atau gabunganpartai politik maupun calon
perseorangan, akan membentuk tim sukses mulai dari tingkatan paling tinggi
hingga tingkatan paling rendah (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
kelurahan/desa). Bahkan biasanya yang dipasang sebagai saksi pada setiap TPS
(tempat pengumutan suara) adalah para tim sukses itu sendiri. Peranan partai
politik maupun tim sukses sangat besar karena akan menjadi mesin dalam
menggerakkan upaya pencarian dukungan pemilih.
2.
Modal
sosial adalah berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimilki oleh pasangan calon
dengan masyarakat yang memilihnya. Termasuk didalamnya adalah sejauh mana
pasangan calon itu mampu meyakinkan para calon pemilih bahwa mereka itu
memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya dan memiliki integritas yang baik.
Suatu kepercayaan tidak akan tumbuh begitu saja tanpa didahului oleh adanya
perkenalan. Tetapi, keterkenalan atau popularitas saja kurang bermakna tanpa
ditindaklanjuti oleh adanya integritas. Dalam pemilukada, modal sosial memilki
makna yang sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnnya kalau dibandingkan
dengan modal politik. Melalui modal sosial yang dimiliki, para kandidat tidak
hanya dikenal oleh para pemilih. Lebih dari itu, melalui pengenalan itu,
lebih-lebih pengenalan yang secara fisik dan sosial berjarak dekat, para
pemilih bisa melakukan penilaian apakah pasangan yang ada itu benar-benar layak
untuk dipilih atau tidak. Seseorang dikatakan memilki modal sosial, berarti
calon itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainkan juga diberi
kepercayaaan.
3.
Modal
ekonomi, modal ekonomi tidak hanya dipakai untuk membiayai kampanye tapi juga
relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk didalamnya adalah modal untuk
memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye.
Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung, melainkan tim sukses
pasangan calon. Sangat sulit membedakan modal ekonomi atau politik uang sangat
sulit walaupun sering terjadi (Kacung Marjan, 2006: 85)
Ketiga modal itu
memang bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara satu dengan
yang lain. Tetapi diantara ketiganya berkaitan antara satu dengan yang lain.
Artinya, calon kepala daerah itu memiliki peluang besar terpilih manakala
memilki akumulasi lebih dari satu modal. Argument yang terbangun adalah bahwa
semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal itu, maka
semakin berpeluang pula pasangan calon tersebut terpilih sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah.
1.1.
Landasan
Konseptual
|
Elektabilitas Masyarakat Aceh Barat Daya Terhadap Akmal Ibrahim
(Studi Kasus Kajian Terhadap Pencalonan Menjadi Bupati Tahun 2017 )
|
|
Bagaimana Dampak kasus terhadap Elektabilitas
Akmal Ibrahim dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya
|
|
Faktor
apa saja yang menyebabkan kepercayaan masyarakat Aceh Barat Daya Terhadap
Kepemimpinan Akmal Ibrahim ?
|
|
Teori
•
Teori Perilaku Pemilih ( Sotepu P.Anthonius, 2012 : 183-184 )
•
Teori Trust ( Ainur Rofiq, 2007 )
•
Konsep Elektabilitas ( Anwar, 2015 )
|
|
·
Akmal Ibrahim adalah sosok pemimpin yang dekat dengan masyarakat dikalangan
bawah.
·
Lima tahun kepemimpinannya divonis gagal.
·
Masyarakat sama skali tidak terpengaruhdengan adanya kasus-kasus
yang menimpa Akmal Ibrahim.
|
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah
di Kabupaten Aceh Barat Daya khususnya di kecamatan Manggeng, Bahbarot, dan
Blang Pidie. Adapun pemilihan kecamatan tersebut dikarenakan banyaknya
pendukung dari Akmal Ibrahim. Selain itu juga tersedia akses bagi penelitian
sehingga memudahkan pengambilan data dalam penyelesaian skripsi ilmiah ini.
3.1.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian
deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi
objek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau
gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu (Burhan Bungin,
2013: 48).
Penulis menggunakan
pendekatan tersebut agar memperoleh informasi dan data yang sesuai dengan
penelitian ini terkait dengan Elektabilitas
masyarakat Aceh Barat Daya Terhadap Akmal Ibrahim.
3.3.
Informan
Peneltian
Informan
adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh pewawancara. Informan
adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun
fakta dari suatu objek penelitian (Burhan Bungin, 2007: 111).
Penentuan
informan dilakukan secara purposive sumpling, yaitu teknik pengambilan sampel
sumber data dengan pertimbangan tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu
tentang apa yang diharapkan, sehingga mempermudah peneliti menjelajahi obyek
atau situasi sosial yang sedang diteliti (Sugiyono, 2008: 218).
Adapun
kriteria informan yaitu pihak-pihak yang memiliki wewenang menentukan kebijakan
mengenai pemindahan ibukota kabupaten dan pihak-pihak yang terlibat langsung
dalam pembuatan keputusan, berdasarkan kriteria tersebut maka informan yang
diambil dalam penelitian ini adalah :
1.
Akmal
Ibrahim (Mantan Bupati Aceh Barat Daya )
2.
Pengamat
Politik :
·
Risman
Rachman
·
Herianto
Marzuki
3.
Tokoh
Masyarakat 9 Orang
4.
Masyarakat
10 0rang
5.
Tim
sukses 2 orang
6.
Ketua
partai politik 2 Orang
7.
Partai
pendukung 1 Orang
3.4. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, adapun data yang dipergunakan
adalah sebagai berikut:
Pertama, data primer yaitu data yang diperoleh dari lapangan melalui hasil
wawancara langsung dengan informan dan beberapa pihak yang terkait dengan
penelitian ini. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya
secara langsung.
Kedua, data sekunder yaitu data yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai
sumber yang telah ada. Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber
seperti buku, laporan, jurnal, majalah, koran, artikel, dokumen dan isu-isu
pemindahan pusat pemerintahan dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan
dengan permasalahan peneliti.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Proses
penggalian data yang penulis lakukan untuk memperoleh data yang akurat dalam
penelitian ini, dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
3.5.1. Wawancara (Interview)
Wawancara
mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan
informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan
informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif sama. Dengan demikian
kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibantannya dalam kehidupan informan.
Penelitian ini menggunakan wawancara semi
terstruktur. Semi struktur merupakan teknik wawancara yang tidak terikat oleh
sistematika daftar pertanyaan tertentu, melainkan lazimnya hanya terarahkan
oleh pedoman wawancara saja sehingga pewawancara bisa secara bebas
mengembangkan wawancaranya dengan responden sejauh ada relevansinya dengan
topik penelitian. Wawancara seperti ini untungannya pewawancara dapat menggali
informasi sebanyak dan sedetail mungkin, dan responden dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan lebih leluasa (Bagong Suyanto & Sutinah, 2006:
78).
3.5.2. Observasi
Observasi adalah metode
pengumpulan data melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat dan
langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Menurut Burhan (2007: 115)
observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil
kerja panca indra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Dalam
melaksanakan pengamatan ini sebelumnya peneliti akan mengadakan pendekatan
dengan subjek penelitian sehingga terjadi keakraban antara peneliti dengan
subjek penelitian.
Penelitian ini
menggunakan jenis observasi non partisipan dimana peneliti tidak ikut serta
terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek lakukan, tetapi observasi
dilakukan pada saat wawancara. Pengamatan yang dilakukan menggunakan pengamatan
semi terstruktur.
3.5.3. Dokumentasi dan Kepustakaan
Dokumentasi
digunakan untuk melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh
subjek sendiri atau orang lain serta salah satu cara untuk mendapatkan gambaran
dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang
ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan. Sedangkan kajian
kepustakaan sangat diperlukan dalam penelitian ini untuk melengkapi data yang
sudah ada.
3.6. Teknis Analisis Data
Data-data yang diperoleh dianalisis secara
kualitatif. Artinya, data
kualitatif tidak menggunakan model statistik dengan menggunakan rumus-rumus
tertentu, melainkan lebih ditujukan sebagai tipe penelitian deskriptif. Kumpulan hasil wawancara sejauh mungkin akan ditampilkan
untuk mendukung analisis yang disampaikan.
3.1 Jadwal Kegiatan
|
No.
|
Kegiatan
|
Bulan/
Tahun
|
|||||
|
Desember
2015
|
Januari
2016
|
Febuari
2016
|
Maret
2016
|
Apil
2016
|
Mei
2016
|
||
|
1
|
Pengajuan Judul
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Pembuatan Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
3
|
Konsultasi
|
|
|
|
|
|
|
|
4
|
Seminar Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
Pengumpulan Data
|
|
|
|
|
|
|
|
6
|
Konsultasi
|
|
|
|
|
|
|
|
7
|
Pengolahan Data
|
|
|
|
|
|
|
|
8
|
Konsultasi
|
|
|
|
|
|
|
|
9
|
Sidang
|
|
|
|
|
|
|
|
10
|
Perbaikandan Cetak
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar