Jumat, 20 Januari 2017

ELEKTABILITAS MASYARAKAT ACEH BARAT DAYA TERHADAP AKMAL IBRAHIM (Studi Kasus Kajian Terhadap Pencalonan Menjadi Bupati Tahun 2017)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang Masalah
Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan.  Kabupaten ini secara resmi berdiri setelah disahkannya undang-undang Republik Indonesia Nomor 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tamiang, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh Barat Daya sering disingkat dengan Abdya. Kabupaten ini memiliki banyak sebutan akrab diantara masyarakat sekitar diantaranya Tanoh Breuh Sigupai, Bumo Teungku Peukan, Bumi Cerana, Alu Malem Dewa, dan beberapa sebutan lainnya. Kabupaten Aceh Barat Daya terdiri dari 8 Kecamatan di antaranya adalah Babahrot, Blangpidie, Jeumpa, Kuala Bate, Lembah Sabil, Manggeng, Setia, Susoh, dan Tangan-tangan. Aceh Barat Daya mengandalkan sektor pertanian dan perdagangan untuk kelngsungan ekonominya.
Akmal Ibrahim merupakan mantan Bupati Aceh Barat Daya pada periode 2007-2012 bersama wakilnya Syamsurizal. Dia mencalonkan diri sebagai bupati melalui sebuah partai yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Dia adalah salah satu tokoh politik Aceh Barat Daya yang sangat dekat dengan masyarakat. Keunggulan pada masa Akmal Ibrahim adalah pada sektor Pertanian dan Perkebunan. Pada masa jabatannya hingga akhir jabatan dan sampai saat ini pun beliau sangat dikenal sebagai pemimpin yang sangat membantu masyarakat kecil, apalagi dikalangan petani.
Pada tahun 2011 Akmal Ibrahim menjalani proses hukum yang menjerat namanya atas kasus diduga terlibat tindak pidana korupsi  proyek pengadaan lahan untuk pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) di Dusun Lhok Gayo, Desa Pantee Rakyat, Kecamatan Babahrot, Abdya, senilai Rp 793.551.000 (http://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/proses-hukum-yang-menjerat-akmal-ibrahim/html. diaskses pada tanggal 3 Januari 2015).
Tanggal 18 November 2015 Akmal Ibrahim dinyatakan tidak terbukti melakukan korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan Pabrik kelapa Sawit di Dusun Lhok Gayo Kecamatan Babahrot Abdya. Kasus ini sama sekali tidak mempengaruhi masyarakat Aceh Barat Daya terhadap Akmal Ibrahim. Dengan tidak terbuktinya Akmal Ibrahim dalam kasus ini popularitas Akmal Ibrahim di Abdya semakin merosot (https://aceh.tribunnews.com/2015/11/18/akmal-ibrahim-divonis-bebas/html. diakses pada tanggal 4 Januari 2015).
 Selain kasus tersebut Akmal Ibrahim juga pernah tersindung dugaan kasus perzinaannya dengan seorang perempuan dan foto-foto kemesraan Akmal Ibrahim tersebut pun tersebar di dunia maya. Foto yang memperlihatkan Akmal Ibrahim bersama seorang wanita berdaster tersebut di klarifikakasikan oleh Pakar Telematika Roy suryo. Dia menyatakan bahwa wanita didalam foto tersebut bukanlah istrinya (http://www.harianaceh.co/read/2008/10/28/4957/pakar-telematika-roy-suryo-wanita-di-foto-akmal-buka-istri-bupati-abdya/html. diakses pada tanggal 31 desember 2015).
Pada masa kepemimpinan Akmal Ibrahim Aceh Barat Daya memvonis bahwa lima tahun kepemimpinan Akmal Ibrahim dinyatakan gagal. Pasalnya hal itu terungkap dalam sidang paripurna DPRK Aceh Barat Daya terhadap Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban-Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) Bupati Abdya periode 2007-2012 pada Sabtu 7 April 2012 bertempat di gedung serbaguna DPRK Abdya. Kegagalan-kegagalan pada masa Akmal Ibrahim didasari pada banyak temuan pelanggaran aturan main yang mengikat, seperti aturan penganggaran yang dituangkan dalam Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, serta tidak berpedoman pada visi dan misi wakil bupati terpilih, tentang penempatan pejabat structural yang tidak mengacu kepada kopetensi dan koordinasi dengan Baperjakat, akan tetapi kepada hubungan darah dan dan faktor suka dan tidak suka atasan terhadap bawahan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      Demikian juga dengan dunia pendidikan Aceh Barat Daya, yang dianggap gagal total dan hasil ujian nasional mendapat rangking nomor-1 terakhir seluruh Indonesia. Walaupun dibidang pertanian pada masa Akmal Ibrahim dinyatakan suskses tetapi bila dibandingkan dengan anggaran yang dialokasikan yang berjumlah Rp 44 milyar dari tahun 2007, sangat tidak sebanding dengan jumlah produksi yang dapat meningkatkan jumlah yang telah disediakan. (http://www.harianaceh.co.id/2012/7/4/kepemimpinan-akmal-ibrahim-divonis-gagal. diakses pada tanggal 1 Januari 2016).
Sehubungan dengan menjelengnya pelaksanaan Pemilukada Aceh Barat Daya Tahun 2017  survei telah dilakukan sebanyak dua kali, pada tahap pertama popularitas Akmal Ibrahim mencapai 63%. Nilai yang diperoleh oleh Akmal Ibrahim ini menjadi nilai yang paling tinggi diantara tokoh yang lainnya. Setelah lima bulan kemudian survei kedua dilakukan kembali dan Akmal Ibrahim tetap menjadi tokoh yang paling banyak diminati yaitu 67%. Keinginan masyarakat Aceh Barat Daya ini tidak terlepas dari program pro rakyat yang sangat memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum, pengalaman memimpi periode sebelumnya terbukti lebih baik dari pada periode sekarang dan lebih banyak membantu masyarakat kecil seperti kalangan petani (Aceh Research And Consulting, 2016).
Berkenaan dengan hal tersebut terdapat kecenderungan masyarakat mendukung Akmal Ibrahim terkait dengan program yang pro rakyat kepercayaan masyarakat menurut hasil surve

1.2.  Fokus Penelitian
Fokus penelitan pada proposal ini antara lain:
1.      Faktor kepercayaan masyarakat Aceh Barat Daya terhadap kepemimpinan Akmal Ibrahim
2.      Dampak  kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya
1.3.  Rumusan Masalah
 1.     Faktor apa saja yang menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Akmal Ibrahim di Kabupaten Aceh Barat Daya ?
 2.  Bagaimana dampak  kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.        Untuk mengetahui faktor penyebab kepercayaan masyarakat Aceh Barat Daya terhadap kepemimpinan Akmal Ibrahim
2.        Untuk mengetahui bagaimana dampak  kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya

1.4.  Manfaat Penelitian
a.  Manfaat Teoritis
1.      Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan kajian teori-teori sosial terutama di bidang ilmu politik.
2.      Secara akademis dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menjadi referensi bagi mahasiswa tentang kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.
b.  Manfaat Praktis
·         Penelitian ini dihaparkan dapat menjadi referensi yang berguna bagi pihak yang terkait dalam penelitian ini, terutama dengan





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pendukung dalam penelitian ini akan dcantumkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti terkait perilaku pemilih dalam sebuah pemilihan sebagai berikut:
Sebagai bahan pertimbangan peneliti mencantumkan beberapa hasil dari penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya diantaranya yaitu Penelian oleh Asy’ri (2011) yang meneliti tentang “Perilaku Pemilih Pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 (Suatu Penelitian di Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku dan faktor-faktor apa saja yang mendorong pemilih dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden republik indonesia tahun 2014 di kecamatan ingin jaya Aceh Besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pemilih di kecamatan ingin jaya dapat dikelompokkan ke dalam lima kelompok yaitu: kelompok pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, skeptis, dan kelompok pemilih emosional.
Penelitian lain dilakukan oleh Martunis (2011) yang meneliti tentang “Peran Partai Golkar dan Partai Aceh Dalam Mengurangi Angka Golongan Putih (Golput) pada Pemilu Presiden Tahun 2014 di Aceh Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran partai golkar dan partai aceh dalam mengurangi angka golput pada pemilu presiden 2014 di aceh utara dan untuk menjelaskan kendala yang di hadapi partai golkar dan partai aceh dalam mengurangi angka golput pada pemilu presiden 2014 di aceh utara. Hasil penelitian ini menunjukkan partai politik kurang berperan dalam mensosialisasikan pemilu presiden kepada masyarakat sehingga angka golput tetap tinggi di Aceh Utara.
Penelitian yang dilakukan Said Herry Rizan (2012) yang meneliti tentang “Sikap Dan Perilaku Pemilih Dalam Pemilukada Aceh 2012 (Suatu Kajian Di Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh)”. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sikap dan perilaku pemilih di Banda Aceh tepatnya pada warga di Kecamatan Ulee Kareng, sikap dan perilaku bagaimana yang akan mendominasi Kecamatan Ulee Kareng, dan sejauh mana pemahaman warga tentang pentingnya berpartisipasi dalam pemilu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pilkada secara langsung di Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, merupakan tipe masyarakat yang berpartisipasif dan tidak terpengaruh isu suku, agama, ras, dan money politic dan tehadap hubungan yang cukup kuat antara orientasi policy-problem solving dengan pendekatan psikologi.

2.2. Landasan Teori
Tinjauan teoritis di sebagian literatur penulisan karya ilmiah disebut juga landasan teoritis, kerangka pemikiran atau kerangka konseptual. Dengan berdasarkan teori yang penulis gunakan maka akan menciptakan atau memecahkan masalah yang penulis kaji dan akan terlihat kerangka pemikiran. Untuk mendukung penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori Persepsi Masyarakat dan teori Kepemimpinan.

2.2.1.Teori Perilaku Pemilih
Teori-teori perilaku pemilh yang dikemukakan oleh Sotepu P. Anthonius (2012: 183-184), ada 3 teori dalam melihat perilaku pemilih pada sebuah pemilihan diantaranya sebagai berikut:
a. Party Indentification Model
Teori ini menjelaskan tentang kondisi piskologi seorang pemilih yang menentukan pemilihannya berdasarkan dengan keadaan sosial yang dirasakannya sama dengan partai yang berhaluan dengan kondisinya, seperti kondisi seorang buruh yang serba tertekan dengan penghasilannya yang selalu menjadi masalah hidupnya, maka dia lebih memilih partai yang memiliki pandangan terhadap kehidupannya, seperti partai buruh. Penjelasan di atas, Anthonius menyebutkan dengan istilah “senses of psycological yang secara psikologius terkait dengan partai politik dan juga disebut indentifikasi kelas sosial (social class indentification).
b. Sosiological Model.
Teori ini menamparkan bahwa dalam melihat perubahan perilaku pemilih dapat diketahui dari sudut sosial pemilih itu sendiri. Kondisi sosial yang dimiliki pemilih seperti tingkatan umum, pekerjaan, tingkat pendidikan atau kondisi dimana kelompok yang dia ikuti membawanya sesuai kondisi kelompok tersebut. Maka hal tersebutlah dapat memberikan pengaruh terhadap pola pilihan pemilih.

c. Rational-Choice Model.
Pilihan rasioanl ini menjelaskan perilaku pemilih dari sisi keberhasilanhan yang nyata dari program yang ditawarkan oleh partai politik maupun kandidat pemilu. Keberadaan teori dalam memberikan sebuah kejelasan terhadap kebergasilan sebuah negara dalam menciptakan masyarakat yang kritis terhadap persoalan negara.
Secara umum teori diatas mejelaskan bahwa perilaku pemilih pada dasarnya dapat dilihat dari psikologis seorang pemilih dengan partai yang menjadi pejuang bagi pemilih untuk mendapatkan kepentingannya. Sosiologis model melihat pemilih dari startifikasi sosial, dimana perilaku seorang dalam memilih masing-masing dibedakan oleh faktor-faktor usia, pekerjaan dan pendapatan ekonominya. Sedangkan pilihan rasional lebih menekankan bagaimana pilihan seorang dai sebuah keuntungan dan rugi didalam memilih objek tertentu.
Firmanzah menjelaskan, secara garis besar pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para calon legislatif atau eksekutif untuk merka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung yang kemudian memilih calon politik yang bersangkutan (Efriza: 2012: 480). Sementara, perilaku pemilih menurut surbakti adalah aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan berat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih di dalam suara pemilu maka pemilih akan memilih atau mendukung kandidat tertentu (Ramlan: 1992 : 146).

1. Pemilih Rasional
Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan parpol atau calon kontestan dalam program kerjanya kedepan dan kinerja partai masa lampau. Ramlan surbakti menambahkan, pada tahap ini pemilih melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi, yang dipertimbangkan bukan hanya ongkos memilih tetapi juga perbedaab dari alternatif berupa pilihan yang ada (Ramlan: 146).
Ciri khas pemilih ini adalah tidak begitu mementingkan ideologi kepada satu parpol atau calon kandidat, pemilih cenderung ,elepaskan hal-hal yang bersifat dogmatis, tradisonal, dan ikatan lokasi dalam kehidupan politiknya. Hal yang sangat penting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa dan yang telah dilakukan oleh partai politik atau calon kontestan dari pemahaman nilai partai atau kontestan.
2. pemilih ktitis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada orientasi pada kemampuan parpol atau calon politik dalam mrnuntuskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Ikatan ideologis yang dibangun oleh pemilih membuat loyalitas terhadap partai ataupun calon kandidat itu tinggi sehingga susah untuk berpaling dari parpol atau calon kandidat semula. Parpol atau calon kandidat yang ingin mempengaruhi kelompok pemilih jenis ini, mereka harus mengatur sebaik mungkin supaya masukan dan kritikan dari pemilih ini bisa ditampung untuk memperbaiki kinerja partai dan meningkatkan kualitas kebijakan partai.
3. Pemilih Tradisonal
Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan parpol atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah parpol. Pemilih dalam hal ini tidak terlalu memusingkan kebijakan apa yang telah dilakukan dan kebijakan apa yang akan dilakukan oleh parpol ataupun kontestan. Pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis tokoh atau partai.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah parpol atau seorang kontestan, serta tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam politik sangat rendah, sehingga golput sangt didominasi oleh kelompok pemilih ini. Seandainya kelompok ini berpartisipasi dalam pengumutan suara, baisannya mereka melakukan acak/random. Kelompok pemilih ini berkeyakinan bahwa siapapun dan partai politik apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, selain itu mereka tidak mempunyai ikatan emosional dengan sebuah parpol atau dengan salah seorang calon.

2.2.2. Trust
Trust merupakan pondasi dari bisnis. Sutau pondasi bisnis antara dua pihak atau lebih akan terjadi apabila masing-masing saling mempercayai. Kepercayaan (trust) ini tidak begitu saja dapat diakaui oleh pihak lain/mitra bisnis, Melainkan harus dibangun mulai dari awal dan dapat dibuktikan. Trust telah dipertimbangkan sebagai katalis dalam berbagai transaksi antara penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan.
Beberapa literature telah mendefinisikan trust dengan berbagai pendekatan. Pada awalnya trust banyak dikaji disiplin psikologi, karena hal ini berkaitan dengan sikap seseorang. Pada perkembangannya, trust menjadi kajian beberapa disiplin ilmu, termasuk menjadi kajian dalam e-commerce. Menurut Yousafzai et al setidaknya mendapat enam definisi yang relavan dengan aplikasi e-commerce. Hasil identifikasi dari berbagai literature tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Rotter (1967) mendefinisikan trust adalah keyakinan bahwa kata atau janji seseorang dapat dipercaya dan seseorang dapat memenuhi kewajiban dalam sebuah hubungan pertukaran.
b.      Morgan dan Hunt (1995) mendefinisikan bahwa trust akan terjadi apabila seseorang memiliki kepercayaan diri dalam sebuah pertukaran dengan mitra yang dimiliki integritas dan dapat dipercaya.
c.       Mayer et al. (1995) mendefinisikan trust adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemauannya untuk mengawasi dan mengendalikannya.
d.      Rousseau et al. (1998) mendefinisikan trust adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perhatian atau perilaku yang baik dari orang lain.
e.       Gefen (2000) mendefinisikan trust adalah kemauan untuk membuat dirinya peka pada tindakan yang diambil oleh orang yang dipercayainya berdasarkan pada rasa kepercayaan dan tanggung jawab.
f.       Ba dan Pavlou (2002) mendefinisikan trust adalah penilaian hubungan seseorang dengan orang lain yang akan melakukan transaksi tertentu menurut harapan orang kepercayaannya dalam suatu lingkungan yang oenuh ketidak-pastian.
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat dinyatakan bahwa trust adalah kepercayaan pihak tertentu terhadap yang lain dalam melakukan hubungan transaksi berdasarkan suatu keyakinan bahwa orang yang dipercayainya tersebut akan memenuhi segala kewajibannya secara baik sesuai yang diharapkan (Ainur Rofiq: 2007 : 30).
2.2.3. Elektabilitas
Elektabilitas berasal dari kata electability (bahasa inggris), di turunkan dari kata elect (memilih). Bentuk-bentuk turunan dari kata elect antara lain election, electable, elected, electiveness, electability, dan sebagainya. Elektabilitas dalam pemaknaan politik adalah tingkat keterpilihan suatu partai, atau kandidat yang terkait dengan proses pemilihan umum. Istilah popularitas dan elektabilitas dalam masyarakat sering disamaartikan, padahal keduanya mempunyai makna dan konotasi yang berbeda meskipun keduanya mempunyai kedekatan dan kolerasi yang besar. Popularitas lebih banyak berhubungan dengan dikenalnya dengan seseorang, baik dalam arti positif ataupun negatif. Sementara elektabilitas berarti kesediaan orang memilihnya untuk jabatan tertentu. Artinya, elektabilitas berkaitan dengan jenis jabatan yang ingin diraih.
Menurut Robert Tanembaun, pemimpin politik adalah mereka yang menggunakan wewenang-wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan atau rakyat yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan politik yakni kesejahteraan rakyat. Syarat umum itu, dalam teori politik modern, dirumuskan dalam tiga hal, yakni :
1.      Akseptabilitas
2.      Kapabilitas, dan
3.      Integritas.
Akseptabilitas mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin. Seseorang baru dianggap sah sebagai pemimpin jika ada yang menginginkan dan memilihnya menjadi pemimpin. Aspek ini, dalam teori politik disebut sebagai legitimasi, yakni kelayakan seorang pemimpin untuk diakui dan diterima oleh orang-orang yang dipimpinnya melalui proses pemilihan yang berlangsung secara jujur dan adil. Hanya orang yang dipilih melalui proses pemilihan itulah yang dianggap memiliki legitimasi sebagai pemimpin. Syarat ini memang khas kepemimpinan politik. Tidak semua pemimpin harus dipilih, namun dipastikan kepemimpinan diluar politik juga akan memiliki legitimasi yang sangat kuat jika melalui proses pemilihan, bukan sekedar ditunjuk oleh orang tertentu.
            Kapabilitas, jika akseptabilitas menyangkut keabsahan seseorang sebagai pemimpin, maka kapabilitas menyangkut kemampuan untuk menjalankan kepemimpinan. Untuk menjadi pemimpin tidak hanya cukupkarena ada yang menghendaki menjadi pemimpin dan kemudian melilihnya sebagai pemimpin, tetapi harus dilengkapi dengan kemampuan yang memadai untuk mengelola berbagai sumber daya dari orang-orang yang dipimpinnya agar tidak sampai terjadi konflik satu sama lain. Kalaupun nantinya ada konflik, maka pemimpin itu harus bisa menunjukkan bahwa dia bisa mengelola konflik itu bukan hanya agar konflik itu mereda dan tidak meluas menjadi konflik fisik apalagi sampai berdarah-darah, tetapi juga agar dari pengelolaan konflik itu lahir sebuah consensus yang disepakati bersama.
Integritas, tidak kalah pentingnya. Akseptabilitas dan kapabilitas hanya mungkin menghasilkan produk yang dirasakan orang-orangyang dipimpinnya jika dilengkapi oleh integritas. Kemampuan memimpin dan keabsahan menjalankan kepemimpinan tidak cukup berarti jika pemimpin itu tidak memiliki integritas. Secara sederhana, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan main yang telah disepakati bersama sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan pelanggaran baik terhadap aturan main maupun terhadap norma-norma tak tertulis yang berlaku dimasyarakat. Jika akseptabilitas menyangkut legitimasi dan kapabilitas behubungan dengan kompetensi, maka integritas menyangkut konsisten dalam dalam memegang teguh aturan main dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat.
Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan sangat mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak akan mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin akan mudah terjerumus dalam sikap sewenang-wenang dan cenderung mengabaikan aturan main dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Dengan sednirinya berbagai bentuk penyelewengan moralakan mudah terjadi.
Pemilukada memiliki dua makna, sebagai keberhasilan dan kegagalan demokrasi. Pemilukada dikatakan berhasil karena sudah menunjukkan adanya partisipasi rakyat, proses pencalonan yang diseleksi, kampanye, dan kontrak politik. Dalam hal ini, prosedur sebagai demokrasi suah dipenuhi dan dipraktekkan, terlepas dari hasil yang dicapai. Sedanglan pemilukada disebut gagal karena masih menunjukkan praktek uang, besarnya angka golput, ketidaktahuan pemilih dengan hak-hak politiknya sebagai warga negara yang memiliki otonomi, pola rekruitmen calon, dan lainnya (Wacana: 2005 : 86).
Beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi ditingkat lokal dalam pemilukada langsung, yakni sebagai berikut:
1.             Melalui pemilukada langsung, penguatan demokrasi ditingkat lokal dapat terwujud, khususnya yang berkaitan dengan legitimasi politik. Karena asumsinya kepala daerah terpilih memilki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagian besar warga.
2.             Pemilukada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas (pemerintah) lokal (accountability). Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka pemimpin rakyat yang mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas akuntabilitasnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena obligasi moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksankan sebagai wujud pembangunan legitimasi politik.
3.             Apabila local accountability berhasil diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks and balences antara lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi dilevel lokal.
4.             Melalui pemilukada langsung, peningkatan kualitas kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi rakyat dijarapkan muncul. Masyarakat saat ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya, kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannya untuk menentukan diri siapa yang kemudian dianggap pantas dan atau layak untuk menjadi pemimpin mereka ditingkat provinsi, kabupaten, maupun kota (Leo Agustino, 2009: 9-11).
Kalau mencermati prosedur maupun proses pemilihan dalam pemilukada secara langsung, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berkemungkinan memenangkan pemilukada secara langsung manakala memilki tiga modal utama. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal sosial (social capital), dan modal ekonomi (economical capital).
1.             Modal politik berti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi dari rakyat. Modal ini menjadi sentral bagi semua calon, baik dalam tahap pencalonan maupun dalam tahap pemilihan. Biasanya setiap calon pasangan kepala daerah, baik yang diusung oleh partai politik atau gabunganpartai politik maupun calon perseorangan, akan membentuk tim sukses mulai dari tingkatan paling tinggi hingga tingkatan paling rendah (provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa). Bahkan biasanya yang dipasang sebagai saksi pada setiap TPS (tempat pengumutan suara) adalah para tim sukses itu sendiri. Peranan partai politik maupun tim sukses sangat besar karena akan menjadi mesin dalam menggerakkan upaya pencarian dukungan pemilih.
2.             Modal sosial adalah berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimilki oleh pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya. Termasuk didalamnya adalah sejauh mana pasangan calon itu mampu meyakinkan para calon pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya dan memiliki integritas yang baik. Suatu kepercayaan tidak akan tumbuh begitu saja tanpa didahului oleh adanya perkenalan. Tetapi, keterkenalan atau popularitas saja kurang bermakna tanpa ditindaklanjuti oleh adanya integritas. Dalam pemilukada, modal sosial memilki makna yang sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnnya kalau dibandingkan dengan modal politik. Melalui modal sosial yang dimiliki, para kandidat tidak hanya dikenal oleh para pemilih. Lebih dari itu, melalui pengenalan itu, lebih-lebih pengenalan yang secara fisik dan sosial berjarak dekat, para pemilih bisa melakukan penilaian apakah pasangan yang ada itu benar-benar layak untuk dipilih atau tidak. Seseorang dikatakan memilki modal sosial, berarti calon itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainkan juga diberi kepercayaaan.
3.             Modal ekonomi, modal ekonomi tidak hanya dipakai untuk membiayai kampanye tapi juga relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk didalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye. Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung, melainkan tim sukses pasangan calon. Sangat sulit membedakan modal ekonomi atau politik uang sangat sulit walaupun sering terjadi (Kacung Marjan, 2006: 85)

Ketiga modal itu memang bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain. Tetapi diantara ketiganya berkaitan antara satu dengan yang lain. Artinya, calon kepala daerah itu memiliki peluang besar terpilih manakala memilki akumulasi lebih dari satu modal. Argument yang terbangun adalah bahwa semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal itu, maka semakin berpeluang pula pasangan calon tersebut terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.








1.1.       Landasan Konseptual
Elektabilitas Masyarakat Aceh Barat Daya Terhadap Akmal Ibrahim (Studi Kasus Kajian Terhadap Pencalonan Menjadi Bupati Tahun 2017 )

Bagaimana Dampak kasus terhadap Elektabilitas Akmal Ibrahim dikalangan masyarakat Aceh Barat Daya

Faktor apa saja yang menyebabkan kepercayaan masyarakat Aceh Barat Daya Terhadap Kepemimpinan Akmal Ibrahim ?
Teori
      Teori Perilaku Pemilih ( Sotepu P.Anthonius,  2012 : 183-184 )
      Teori Trust ( Ainur Rofiq, 2007 )
      Konsep Elektabilitas ( Anwar, 2015 )

·           Akmal Ibrahim adalah sosok pemimpin yang dekat dengan masyarakat dikalangan bawah.
·           Lima tahun kepemimpinannya divonis gagal.
·           Masyarakat sama skali tidak terpengaruhdengan adanya kasus-kasus yang menimpa Akmal Ibrahim.
 




















BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Kabupaten Aceh Barat Daya khususnya di kecamatan Manggeng, Bahbarot, dan Blang Pidie. Adapun pemilihan kecamatan tersebut dikarenakan banyaknya pendukung dari Akmal Ibrahim. Selain itu juga tersedia akses bagi penelitian sehingga memudahkan pengambilan data dalam penyelesaian skripsi ilmiah ini.
3.1.       Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu (Burhan Bungin, 2013: 48).
Penulis menggunakan pendekatan tersebut agar memperoleh informasi dan data yang sesuai dengan penelitian ini terkait dengan Elektabilitas masyarakat Aceh Barat Daya Terhadap Akmal Ibrahim.

3.3.      Informan Peneltian
Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Burhan Bungin, 2007: 111).
Penentuan informan dilakukan secara purposive sumpling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu yakni sumber data dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, sehingga mempermudah peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang sedang diteliti (Sugiyono, 2008: 218).
Adapun kriteria informan yaitu pihak-pihak yang memiliki wewenang menentukan kebijakan mengenai pemindahan ibukota kabupaten dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembuatan keputusan, berdasarkan kriteria tersebut maka informan yang diambil dalam penelitian ini adalah :
1.         Akmal Ibrahim (Mantan Bupati Aceh Barat Daya )
2.         Pengamat Politik :
·         Risman Rachman
·         Herianto Marzuki
3.         Tokoh Masyarakat 9 Orang
4.         Masyarakat 10 0rang
5.         Tim sukses 2 orang
6.         Ketua partai politik 2 Orang
7.         Partai pendukung 1 Orang


3.4.       Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data, adapun data yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
Pertama, data primer yaitu data yang diperoleh dari lapangan melalui hasil wawancara langsung dengan informan dan beberapa pihak yang terkait dengan penelitian ini. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung.
Kedua, data sekunder yaitu data yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, laporan, jurnal, majalah, koran, artikel, dokumen dan isu-isu pemindahan pusat pemerintahan dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan peneliti.

3.5.       Teknik Pengumpulan Data
Proses penggalian data yang penulis lakukan untuk memperoleh data yang akurat dalam penelitian ini, dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
3.5.1. Wawancara (Interview)
Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif sama. Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibantannya dalam kehidupan informan.
Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Semi struktur merupakan teknik wawancara yang tidak terikat oleh sistematika daftar pertanyaan tertentu, melainkan lazimnya hanya terarahkan oleh pedoman wawancara saja sehingga pewawancara bisa secara bebas mengembangkan wawancaranya dengan responden sejauh ada relevansinya dengan topik penelitian. Wawancara seperti ini untungannya pewawancara dapat menggali informasi sebanyak dan sedetail mungkin, dan responden dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan lebih leluasa (Bagong Suyanto & Sutinah, 2006: 78).
3.5.2. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian. Menurut Burhan (2007: 115) observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Dalam melaksanakan pengamatan ini sebelumnya peneliti akan mengadakan pendekatan dengan subjek penelitian sehingga terjadi keakraban antara peneliti dengan subjek penelitian.
Penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipan dimana peneliti tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek lakukan, tetapi observasi dilakukan pada saat wawancara. Pengamatan yang dilakukan menggunakan pengamatan semi terstruktur.

3.5.3. Dokumentasi dan Kepustakaan
Dokumentasi digunakan untuk melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau orang lain serta salah satu cara untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan. Sedangkan kajian kepustakaan sangat diperlukan dalam penelitian ini untuk melengkapi data yang sudah ada.

3.6.       Teknis Analisis Data
Data-data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Artinya, data kualitatif tidak menggunakan model statistik dengan menggunakan rumus-rumus tertentu, melainkan lebih ditujukan sebagai tipe penelitian deskriptif.  Kumpulan hasil wawancara sejauh mungkin akan ditampilkan untuk mendukung analisis yang disampaikan.






    



3.1  Jadwal Kegiatan

No.
Kegiatan
Bulan/ Tahun
Desember
2015
Januari
2016
Febuari
2016
Maret
2016
Apil
2016
Mei
2016
1
Pengajuan Judul






2
Pembuatan Proposal






3
Konsultasi






4
Seminar Proposal






5
Pengumpulan Data






6
Konsultasi






7
Pengolahan Data






8
Konsultasi






9
Sidang






10
Perbaikandan Cetak










Tidak ada komentar:

Posting Komentar