Bunga Rampaian
Sabtu, 13 Mei 2017
Jumat, 20 Januari 2017
REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
dijelaskan bahwa Sesuai dengan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Namun dalam pelaksanaannya birokrasi pemerintah daerah sampai saat ini masih
jauh dari prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini
karena fungsi aparatur daerah sebagai subyek dalam melaksanakan kewenangan
tersebut cenderung berfungsi sebagai buruh pabrik, mengejar setoran dari hasil
produksi tanpa memperdulikan kondisi dan tatanan yang ada untuk kepentingan masyarakat.
Bertitiktolak dari uraian tersebut diatas,
sebagai upaya untuk mengembalikan kondisi birokrasi
pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, perlu melakukan reformasi secara menyeluruh.
Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik
yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civilsociety),
supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang
sating terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga
merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat
ini.
B. Identifikasi Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan reformasi birokrasi?
2.
Bagaimana
pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah daerah ?
3.
Apa yang perlu
di reformasi dari birokrasi pemerintah daerah ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan
reformasi birokrasi pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan penulis dalam bidang materi Birokrasi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Birokrasi.
1. Pengertian Birokrasi.
Pengertian birokrasi dikalangan masyarakat sering dihubungan dengan ketidakpuasan,
rumit, bertele-tele dan banyak lagi
perkataan-perkataan yang dilotarkan oleh sebagai masyarakat yang merasa kecewa
atas pelayanan suatu birokrasi yang mereka alami.
Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata
yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi
memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau
norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah
kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau
undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara
etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh
Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir
ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik
(Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Menurut Ferrel Heady ada 3
(tiga) pendekatan dalam merumuskan birokrasi yaitu :
a. Pendekatan struktural.
Menurut pendekatan ini birokrasi sebagai suatu susunan yang terdiri
dari hierarki otorita dan pembagian kerja yang amat terperinci (Victor
Thonson);
b. Pendekatan Perilaku(Behavioral).
Menurut pendekatan ini
menekankan arti pentingnya objektivitas, pemisahan, ketepatan dan konsistensi
yang dikaitkan dengan ukuran fungsional dari pejabat administrasi. Dengan kata
lain, perilaku positif lekat dengan pencapaian tujuan organisasi birokratik;
c. Pendekatan Pencapaian Tujuan.
Menurut
pendekatan ini birokrasi sebagai suatu organisasi yang memaksimalkan efisiensi
dalam administrasi atau satu metode pelembagaan perilaku sosial yang
terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi.
2. Ciri organisasi Birokrasi.
Pemerintah daerah tidak mungkin berhasil mencapai tujuan untuk mensejahterakan
masyarakat tanpa menggunakan organisasi birokratik. Menurut H. Wrong setiap
organisasi birokratik mempunyai ciri struktural utama sebagai berikut :
a.
Pembagian
tugas;
b.
Hierarki
otorita;
c.
Peraturan dan
ketentuan yang terperinci;
d.
Hubungan
impersonal di antara anggota organisasi.
Sedangkan Max Weber memberikan 6 (enam) ciri dari organisasi
birokrasi yaitu :
a. Terdapat prinsip yang pasti dan wilayah
yurisdiksi yang resmi, yang pada umumnya diatur dengan hukum atau
peraturan-perataran administrasi;
b. Terdapat prinsip hierarki
dan tingkat otorita yang mengatur sistem.
c. Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen
yang dipelihara dalam bentuk aslinya;
d. Terdapat spesialisasi dan pengembangan
pekerja melalui latihan keahlian;
e. Aktivitas organisasi menurut kapasitas
anggota secara penuh;
f. Berlakunya aturan-aturan main mengenai
manajemen.
3. Pentingnya Birokrasi.
Bahwa proses kebijaksanaan pemerintah terdiri dari formulasi,
implementasi, evaluasi dan terminasi, yang kesemuanya itu merupakan proses dari
suatu birokrasi, sehingga birokrasi mempunyai andil dan keterlibatan yang besar
dalam pembuatan keputusan.
Robert Presthus memperlihatkan peranan birokrasi dalam pebuatan
keputusan dalam hal-hal sebagai :
a. Pembuatan peraturan dibawah peraturan
perundang-undangan (delegated legislation);
b. Pemrakarsa kebijaksanaan (bureaucracy’s
role in initiating policy);
c. Hasrat Intenal birokrasi untuk
memperoleh kekuasaan, keamanan dan kepatuhan (bureaucracy’s internal drive for
power security, and loyalty).
B. Reformasi.
Reformasi
memiliki interpretasi yang berbeda-beda tergantung pada konteks dari reformasi
tersebut. Namun secara umum reformasi dapat diartikan sebagai pembaruan dengan melakukan perubahan menuju
arah yang lebih baik karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam sistem
yang ada.
Reformasi
dapat berupa perubahan total yang radikal tau bisa diidentikkan dengan revolusi
ataupun dapat berupa perubahan yang secara bertahap. Hal ini tergantung dari
objek yang akan direformasi. Apabila kerusakan dan penyimpangan yang terjadi
sudah sangat kronis maka reformasi harus dilakukan secara radikal. Namun
apabila penyimpangan yang terjadi dipandang masih ringan maka tidak diperlukan
reformasi yang radikal.
1. Reformasi Birokrasi.
Sebuah negara, dalam mencapai tujuannya, pastilah memerlukan
perangkat negara yang disebut pemerintah dan pemerintahannya. Pemerintah pada
hakikatnya adalah pemberi pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya
persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah terjadi pula perkembangan
penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, diperlukan adanya rangka pemerintahan
yang kuat untuk menghadapi dinamika perkembangan masyarakat.
Reformasi birokrasi adalah salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Pengertian dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah
suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah
struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang
lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur,
tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah
laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan
wewenang dan kekuasaan.
2. Tahap Tahap Reformasi
Birokrasi yang ideal.
Mengutip
definisi yang diajukan Fauziah Rasad dari Masyarakat Transparansi Indonesia
(MTI), reformasi birokrasi adalah
perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Agar reformasi
birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen
perubahan.Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi,
mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau
organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya
agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah
manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005
yaitu :
a. Langkah pertama, memobilisasi energi dan komitmen para
anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh
semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah
harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara
menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka
tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam
diskusi dan pengambilan keputusan;
b. Langkah kedua, mengembangkan visi bersama, bagaimana
mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang
dicita-citakan;
c. Langkah ketiga, menentukan kepemimpinan. Di dalam
instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon.
Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol
perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan
jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya;
d. Langkah keempat, fokus pada hasil kerja. Langkah itu
dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja
tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu;
e. Langkah kelima, mulai mengubah
unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar ke
unit-unit lain di seluruh instansi;
f. Langkah keenam, membuat peraturan formal, sistem,
maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur
perubahan yang terjadi;
g. Langkah ketujuh, mengawasi dan menyesuaikan strategi
untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung.
3. Strategi reformasi birokrasi.
a. Pada
level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong
Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian
hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan);
b. Pada level organisational, dilakukan
melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan
yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja
Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah;
c. Pada level operasional,
dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi
tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty;
d. Instansi Pemerintah secara periodik
melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Reformasi
Birokrasi Pemerintahan Daerah.
Berbagai ahli
seperti Drucker ( 1992 ), Osborne & Gaebler (1992), Barzelay (1992), Mc
Leod (1998) secara implisit menyebutkan bahwa causa prima atau penyebab utama
kegagalan negara membawa kesejahteraan rakyatnya adalah karena kelemahan
manajemennya. Manajemen pemerintahan pada semua dimensi umumnya sudah sangat
usang, tertinggal oleh kemajuan jaman, sehingga alih-alih melayani masyarakat,
organisasi pemerintah malahan lebih banyak menjadi beban. Hal tersebut nampak
dari penggunaan sebagian besar dana publik untuk kepentingan mereka sendiri.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila Ingraham dan Romzek ( 1994 ) menyebutkan bahwa sektor pemerintah
harus belajar dari sektor privat yang sukses. Ingraham dan Romzek (1994)
menawarkan pengelolaan pemerintahan baru yang disebutnya paradigma ”Hollow
State”, dengan ciri pekerjaan pemerintah yang tidak bersifat stratejik
(non-strategic function) dikontrakkan kepada pihak ketiga (contracting-out).
Sektor privat
pada umumnya sudah masuk pada manajemen generasi kelima yakni management by
human networking - dengan dominasi penggunaan teknologi komunikasi dan
informasi. Savage (1990) menyebutkan bahwa prinsip human networking adalah
“self-empowering”, yakni pemberdayaan diri sendiri pada setiap orang sehingga
mampu mandiri, termasuk di dalam mengambil keputusan. Pimpinan diperlukan untuk
mengkoordinasikan kegiatan perorangan agar mengarah pada pencapaian tujuan,
tetapi tidak bersifat mengatur. Pada tahap kemandirian, setiap individu telah
memiliki kesadaran dan tanggung jawab tanpa terlampau banyak diawasi atau
dikendalikan.
Pada sisi lain,
sektor pemerintah masih berkutat pada manajemen generasi kedua yakni management
by direction - dengan dominasi peran pemimpin. Sang pemimpin menjadi sumber ide
dan gagasan, sedangkan pengikut lebih banyak bertindak sebagai pelaksana.
Dengan perkataan lain, organisasi sektor pemerintah masih memiliki
karakteristik berorientasi pada pemimpin (leader orientation), belum berorientasi
pada sistem (system orientation). Dengan demikian, maju mundurnya organisasi
pemerintah sangat tergantung pada sang pemimpin.
Anggota
organisasi lebih merupakan bawahan yang lebih banyak menjalankan perintah
atasan, daripada insan-insan yang memiliki kreativitas dan inovasi. PNS
dihargai karena kepatuhan dan loyalitasnya, bukan karena kreativitas dan
inovasinya. Birokrasi di Indonesia adalah birokrasi tanpa karakter. Indikasinya
nampak dari berbagai persidangan korupsi pada Departemen Agama maupun
Departemen Kelautan dan Perikanan, dan mungkin nantinya juga pada
departemen-departemen lainnya. Seorang sekretaris jenderal yang merupakan
jabatan tertinggi dalam jajaran birokrasi di Indonesia (golongan IVe) ternyata
tidak memiliki keberanian untuk menolak perintah menteri, meskipun mereka tahu
bahwa perintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mereka takut
kehilangan jabatan, karena bagi mereka jabatan adalah segala-galanya. Karena
pada jabatan tersebut melekat kehormatan serta fasilitas baik yang resmi dan
terutama yang tidak resmi. Gaji dan tunjangan resmi eselon I relatif kecil
dibandingkan dengan jenjang jabatan yang setara pada sektor privat. Tetapi
apabila fasilitas penunjang yang diterima dari negara seperti mobil dinas,
rumah dinas, sopir dinas dan lain sebagainya, yang semuanya dibiayai oleh
negara dihitung sebagai pendapatan maka jumlahnya menjadi sangat besar. Belum
lagi gratifikasi dari pihak ketiga yang diterima karena jabatannya. Sehingga
pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) setiap bulannya tidak jauh
berbeda dengan sektor swasta.
Apabila pejabat
eselon I yang sudah ikut segala macam pendidikan dan pelatihan di dalam maupun
di luar negeri saja tidak memiliki karakter yang jelas, dapat dibayangkan
bagaimana karakter birokrasi pada tingkat yang lebih rendah. Hal-hal ideal yang
diterima selama mengikuti pendidikan dan pelatihan hanya sekedar wacana, wacana
dan wacana, karena kurang diikuti dengan komitmen untuk perubahan ke arah
kemajuan dan konsisten menjaga komitmen.
Reformasi
manajemen birokrasi diberbagai negara, termasuk Indonesia, diperkuat dengan
hadirnya paradigma good governance yang dikembangkan oleh Bank Dunia maupun
UNDP. Pada hakehatnya tata kepemerintahan yang baik adalah upaya memperbaiki
manajemen dalam berbagai aspkenya dengan memasukkan nilai-nilai baru yang lebih
transparan, akuntabel, demokratis serta berbasis pada 6 penegakan hukum. Good
governance sendiri adalah cara atau implementasi untuk mengubah keadaan dari
pemerintahan yang jelek (bad government) menuju pada pemerintahan yang baik
(good government).
Untuk mengejar
ketertinggalan dibanding sektor pemerintah di negara lain maupun sektor swasta,
manajemen sektor pemerintah di Indonesia, khususnya pemerintah daerah perlu
dibenahi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembenahannya mencakup semua
fungsi dan aspek manajemen meliputi perencanaan, organisasi, pelaksanaan,
pengawasan sampai pengelolaan konflik dan kolaborasi.
B. Reformasi
Organisasi Birokrasi Pemerintah Daerah.
Telah dipahami
bersama bahwa organisasi adalah sebuah wadah dan sekaligus sistem kerjasama
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sebagai sebuah sistem, organisasi harus
bersifat ”self-renewing system”, dalam arti memiliki mekanisme untuk secara terus
menerus memperbaiki dirinya sendiri sesuai perkembangan lingkungan internal dan
eksternalnya. Organisasi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan,
akan menjadi usang, dan kemudian mati.
Perkembangan
teori organisasi berjalan seiring dengan perkembangan manajemennya, karena
keduanya merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Manajemen hanya ada dalam sebuah organisasi, sebaliknya organisasi tanpa
manajemen hanyalah sebuah kerumunan atau gerombolan.
Pola organisasi
pemerintah daerah yang digunakan pada saat diatur berdasarkan PP Nomor 8 Tahun
2003 masih memakai model generasi ketiga, dengan mengutamakan kewenangan serta
menonjolkan jabatan struktural. Tetapi PP ini masih sejalan dengan
kecenderungan perubahan global yakni dari downsizing menuju rightsizing, karena
membatasi jumlah maksimal dinas dan lembaga teknis daerah pada Daerah Provinsi
maupun Daerah Kabupaten/Kota. Para ahli organisasi sudah mengingatkan bahwa
pada abad ke-21 perlu dilakukan pembaruan dengan lebih menekankan pada
keahlian, bukan lagi pada kekuasaan.
Momentum untuk
mengubah organisasi pemerintah daerah menjadi lebih profesional menuju
organisasi generasi keempat sebenarnya terbuka pada saat PP tersebut akan
direvisi. PP penggantinya yakni PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Pemerintah Daerah ternyata mengalami kemunduran dari segi konsep, karena PP
tersebut mendorong terjadinya proliferasi birokrasi dengan memberi peluang
penambahan jumlah jabatan struktural. Padahal melalui sistem pemilihan kepala
daerah secara langsung seperti saat ini telah terjadi politisasi birokrasi.
Jabatan struktural diisi oleh kepala daerah yang memenangkan pemilihan tanpa
mengindahkan kompetensi jabatannya. Sebagai contoh kasus di beberapa daerah
terdapat kepala dinas perhutanan dan konservasi tanah diisi oleh sarjana sosial
politik, jabatan sekretaris DPRD diisi oleh sarjana perikanan, kepala kantor
arsip dan perpustakaan daerah diisi oleh sarjana teknik. Praktek semacam itu
terjadi juga diberbagai daerah lainnya di Indonesia. Asas yang dipakai adalah ”
siapapun dapat jadi apapun, asalkan kepala daerah menghendaki”.
Pola
pengembangan karier PNS seperti itu tidak akan pernah membangun birokrasi yang
profesional dalam bidang tertentu, karena PNS tidak pernah dapat merancang
kariernya sendiri. Karier PNS sangat tergantung pada pendekatan politik dan
”garis tangan”. Padahal melalui PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, daerah otonom khususnya kabupaten/kota diberi urusan
pemerintahan yang banyak, luas dan bersifat teknis. Untuk menjalankannya
diperlukan birokrasi yang profesional dalam bidangnya secara spesifik, dan hal
tersebut hanya dapat diperoleh melalui pengembangan karier melalui jabatan
fungsional dalam suatu organisasi fungsional. Apabila daerah mengembangkan
organisasi fungsional, berarti daerah telah masuk pada organisasi generasi
keempat. Jabatan karier yang bersifat generalis tetap diperlukan, tetapi
jumlahnya tidak sebanyak jabatan karier spesialis.
C. Reformasi
Sumber Daya Birokrasi Pemerintah Daerah.
Di dalam
organisasi, sumber daya manusia memegang peranan kunci, begitu pula di dalam
birokrasi pemerintah daerah. Sumberdaya manusia dalam birokrasi pemerintah
daerah yang biasa disebut sebagai pegawai negeri sipil adalah abdi negara dan
masyarakat.
Menurut Bekke,
Perry & Toonen (1996), ada lima tahap perkembangan peran PNS yaitu:
1. Tahap pertama, PNS sebagai pelayanan
perorangan;
2. Tahap kedua, PNS sebagai pelayanan
negara atau pemerintah;
3. Tahap ketiga, PNS sebagai pelayan
masyarakat;
4. Tahap Keempat PNS sebagai Pelayanan Yang
Dilindungi;
5. Tahap Kelima PNS sebagai Pelayanan
Profesional.
Untuk masuk ke
tahap kelima perlu dibangun organisasi fungsional yang didukung oleh
orang-orang yang memiliki kompetensi dan profesional dalam bidang tugasnya
masing-masing. Arah pengembangan kariernya bukan melebar menjadi generalis,
melainkan menukik ke dalam menjadi spesialis dalam bidangnya.
D. Reformasi
Kepemimpinan Pemerintah Daerah.
Kepemimpinan
nasional harus dapat berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya
dapat dirasakan oleh warga bangsa di seluruh wilayah nusantara. Konsepsi
membutuhkan sumberdaya manusia berkualitas, berkemampuan iptek dan seni yang
dilandasi nilai-nilai ideologi bangsa, serta dapat berinteraksi dengan komponen
bangsa lainnya dalam hidup bersama. Kepemimpinan nasional harus dapat mengawal
strategi implementasi reformasi birokrasi (PURB, 2008) yakni (i) membangun
kepercayaan masyarakat, (ii) membangun komitmen dan partisipasi, (iii) mengubah
pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja dan (iv) memastikan keberlangsungan
berjalannya sistem dan mengantisipasi terjadinya perubahan.
Strategi
implementasi reformasi birokrasi bukan hal teknis semata, tetapi membutuhkan
kemampuan kepemimpinan extraordinary untuk menjalankannya pada tatanan
Sismennas. Hal ini bisa dilihat dari sisi lain, Sismennas sesungguhnya menjadi
alat bantu yang efektif untuk menjalankan mekanisme business process
kepemimpinan. Lebih penting dari itu, kepemimpinan juga harus mampu mengawal
seluruh SDM senantiasa dalam steady state mengantisipasi perubahan.
BAB IV
KESIMPULAN
Reformasi birokrasi pemerintahan daerah
merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh pemerintahan
daerah di Indonesia dengan berpedoman kepada Grand Design dan Road Map
Reformasi Birokrasi, yang meliputi reformasi organisasi, sumber daya, dan
reformasi kepemimpinan daerah dalam rangka tercapainya tujuan dalam rangka
mensejahterakan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya diperlukan monitoring
yang solid dan kredibel serta mencerminkan suatu sistem pengukuran yang
objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem
tersebut.
Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
reformasi Birokrasi (Menpan-RB) RI, Azwar Abu Bakar pernah membuka Rapat Kerja
Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah di Hotel Labersa, Kampar. Dalam kata sambutannya,
mantan Menpan-RB ini menilai produkticitas birokrasi masih tergolong rendah.
Dengan kondisi ini, reformasi birokrasi menjadi salah satu solusi dalam
menghasilkan aparatur pemerintah yang memahami tugas dan tanggungjawab, serta
bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dia menyebutkan, seluruh
aparatur pemerintah daerah harus berubah dan mengikuti birokrasi reformasi. Ini
ditekankan karena permasalahan birokrasi termasuk tiga permasalahan besar di
Indonesia, selain korupsi dan infrastruktur.
Untuk itu
mantan Menteri Menpan dan RB Azwar Abubakar telah disusun model Penilaian
Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) yang merupakan hasil adopsi
dari model Common Assesment Framework (CAF). Model ini, mengandalkan penilaian
mandiri dalam penilaian kinerja instansi pemerintah, dan mengembangkan rencana
perbaikan kinerja dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Manajemen (TQM)
dengan perbaikan secara berkelanjutan. Pedoman PMPRB tersebut merupakan acuan
bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program
reformasi birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indicator dan target
nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan outcame pelaksanaan
program reformasi birokrasi di instansi pemerintah serta pencapaian Indikator
Kinerja Utama (IKU) masing-masing instansi pemerintah dengan Indikator
bekerhasilan reformasi birokrasi secara nasional.
Penerapan model
PMPRB, menurut mantan Menpan RB Azwar Abubakar akan segera ditetapkan sebagai
pedoman, hal ini karena memiliki berbagai keuntungan dan manfaat karena model
ini, pertama; sederhana, mudah
diterapkan dan menyesuaikan dengan dinamika perubahan. Kedua; manfaat dan pengolah lebih lanjut berbagai data/informasi,
materi serta dokumen yang sebagian besar sudah dikembangkan dan tersedia. Ketiga; memberikan system penilaian
mandiri dan baku yang objektif dan dapat memberikan informasi perkembangan
pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi secara Online dan upaya perbaikan
yang diperlukan secara efektif dan berkelanjutan. Keempat, memudahkan pengintegrasian data dan informasi untuk
menggambarkan profil pencapaian reformasi birokrasi nasional secara Online. Kelima; mendorong terjadinya kompetensi
yang positif di antara instansi emerintah sehingga mendorong kinerja pemerintah
secara keseluruhan. Keenam; mendorong
kerjasama internasional dalam komunitas bersar pengguna model CAF dengan
berbagai pengalaman dengan berbagai institusi di Negara lain melalui suatu
forum ataupun secara bilateral, dan ketujuh;
memudahkan peningkatan capacity building secara internasional bersama dengan
European Institute of Public Administrasion (EIPA) CAF Resource Center uyang
berkedudukan di Belanda. Sistem PMPRB akan dapat berperan dalam kita mengetahui
dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana
diharapkan. Hal tersebut harus ditunjukkan dengan hasil signifikan dalam
perbaikan tata kelola pemerintahan dan sasaran reformasi birokrasi nasional
yaitu terwujudnya Pemerintahan yang bersih dari KKN dan pelayanan publik yang
berkualitas dan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi
DAFTAR PUSTAKA
Langganan:
Postingan (Atom)